Oleh: Dr Marwah Daud Ibrahim dari Majalah Gontor
https://saidumar164.files.wordpress.com/2011/12/0-00000goal2.jpg |
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya.”(QS ar-Ra’d [13]: 11)
Sebuah peristiwa penting pada awal musim
gugur 1984 tak akan pernah saya lupakan. Ketika itu, dalam keadaan hamil
tujuh bulan, saya dating melaporkan kesiapan saya memulai program S3.
Profesor Gregg, ketua program doctoral School of International Service,
di The American Univercity berucap, “Selamat datang di Program Doktor.
Anda adalah satu dari tiga belas orang yang kami terima dari ratusan
pelamar untuk program ini. Anda dari Indonesia, yang lain dari Jerman,
Inggris, Granada, Pakistan, Bangladesh, Yordania, Israel, dan Amerika
Serikat.”
Sambil memandangi perut saya, ia
melanjutkan, “Jika Anda merasa tidak yakin untuk bisa menyelesaikan
program, lebih baik sekarang Anda ambil keputusan agar jatah dapat
diberikan orang lain.”
Mungkin kalimat tersebut, kalimat standar
yang disampaikan kepada seluruh calon peserta program. Tapi bagi saya,
sungguh-sungguh merasa tertantang. “Tuan, hamil adalah bukti bahwa saya
sehat. Dan akan saya buktikan bahwa dalam kondisi apapun, saya insya
Allah akan menjadi salah seorang di antara yang tercepat menyelesaikan
program S3 di angkatan saya.” Ujar saya yakin.
“Jika begitu keyakinanmu, silahkan
selesaikan semua urusan administrasi pendaftaran. Dan setiap saat Anda
bisa datang berkonsultasi ke saya. Saya di sini membantu sukses Anda,”
Jawab professor itu.
Karena udara tidak terlalu dingin, saya
duduk di bangku halaman universitas sambil memandangi keindahan dedaunan
warna-warni yang berguguran ditiup angin. Tiba-tiba saya melakukan
flashback ke desa kecil saya di pingiran Sungai Walennai, Pecongkang,
Soppeng, Sulawesi Selatan. Prinsip untuk yakin selesai sebelum mulai
pekerjaan yang saya dapatkan dari Prof Gregg barusan, sama persis dengan
falsafah Bugis-Makassar yang selalu diajarkan orangtua saya.
Ayahanda saya, H Muhammad Daud, sering
berpesan, “Sebelum berangkat, tiba dulu. Sebelum mulai, selesaikan
dudlu.” Artinya, sebelum berangkat ke suatu tempat bayangkan dulu sudah
tiba. Sebelum mulai suatu pekerjaan, bayangkan dulu sudah selesai. Mirip
pelaut, mereka harus yakin dan membayangkan dulu sudah tiba di pulau
tujuan, sebelum perahu layar mereka lepas dari pantai. Mirip pembuat
rumah, mereka harus punya dulu master plan arsitektur bangunan, sebelum
pembangunan dimulai.
Dengan prinsip memulai tujuan akhir
dipikirkan, menyebabkan seorang yang masuk universitas di Amerika
misalnya pada tahun 2000 disebut angkatan 2004. Artinya, nama angkatan
yang disebutkan bukanlah tahun masuk, tapi tahun tamat.
Hasilnya, pada musim panas 1989, seperti
saya tekadkan, saya menjadi orang kedua yang menyelesaikan S-3 dari
seluruh angkatan. Dikalahkan hanya oleh teman dari Yordania. Padahal,
saya bukan hanya melahirkan anak saat semester pertama, tapi juga
melahirkan anak kedua di semester akhir, yakni ketika sibuk menulis
disertasi.
Bukan hanya itu, selain kuliah, saya
bekerja paruh waktu sebagai asisten dosen, pernah menjadi peneliti Bank
Dunia, delegasi universitas Amerika ke India, ikut berbagai pertemuan
organisasi internasional, bekerja di perpustakaan universitas, dan
mengajar bahasa Indonesia untuk diplomat yang akan bertugas di
Indonesia. Saya masih bisa aktif di organisasi PERMIAS, menulis kolom
rutin di Majalah Panji Masyarakat, dan berbagi tugas dengan suami yang
juga kuliah dan bekerja.
Saya bukanlah termasuk yang paling cerdas
di antara teman kuliah. Tapi saya merasa dapat selesai tepat waktu,
karena terbiasa mengelola hidup dan merencanakan masa depan (MHMMD)
0 comments:
Post a Comment